PENJELASAN TENTANG DALIL-DALIL ASWAJA YANG DITENTANG SALAFI/WAHABI
Oleh : Jujun Juhanda, S.Sos.I
(Ketua MWC NU Tanjungkerta-Pengurus LP Ma’arif Sumedang)
UNTUK para wahabi, simak penjelasan guru mulia habib munzir, moga2 semua wahabi diberi hidayah utk kembali ke aswaja..amiin ALLAHumma amiin
GURU MULIA HABIB MUNZIR BERKATA :
BID’AH
Nabi saw memperbolehkan berbuat bid’ah hasanah. Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid’ah dhalalah.
Nabi saw memperbolehkan berbuat bid’ah hasanah. Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid’ah dhalalah.
Perhatikan hadits beliau saw,
bukankah beliau saw menganjurkan? maksudnya bila kalian mempunyai suatu pendapat
atau gagasan baru yang membuat kebaikan atas islam maka perbuatlah.., alangkah
indahnya bimbingan Nabi saw yang tidak mencekik ummat, beliau saw tahu bahwa
ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan
akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian ulama, merajalela
kemaksiatan, maka tentunya pastilah diperlukan hal hal yang baru demi menjaga
muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan, demikianlah bentuk kesempurnaan agama
ini, yang tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman, inilah makna ayat : “ALYAUMA
AKMALTU LAKUM DIINUKUM…”, yang artinya “hari ini Kusempurnakan untuk kalian
agama kalian, kusempurnakan pula kenikmatan
bagi kalian, dan kuridhoi islam sebagai agama kalian”,
bagi kalian, dan kuridhoi islam sebagai agama kalian”,
Maksudnya semua ajaran telah
sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi
memperbaiki agama ini, semua hal yang baru selama itu baik sudah masuk dalam
kategori syariah dan sudah direstui oleh Allah dan rasul Nya, alangkah sempurnanya
islam, Bila yang dimaksud adalah tidak ada lagi penambahan, maka pendapat itu salah, karena setelah ayat ini masih ada banyak ayat ayat lain turun, masalah hutang dll, berkata para Mufassirin bahwa ayat ini bermakna Makkah Almukarramah sebelumnya selalu masih dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya orang muslim, mulai kejadian turunnya ayat ini maka Musyrikin tidak lagi masuk masjidil haram, maka membuat kebiasaan baru yang baik boleh boleh saja. Namun tentunya bukan membuat agama baru atau syariat baru yang bertentangan dengan syariah dan sunnah Rasul saw, atau menghalalkan apa apa yang sudah diharamkan oleh Rasul saw atau sebaliknya, inilah makna hadits beliau saw : “Barangsiapa yang membuat buat hal baru yang berupa keburukan...dst”, inilah yang disebut Bid’ah Dhalalah Beliau saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka beliau saw memperbolehkannya (hal yang baru berupa kebaikan), menganjurkannya dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar ummat tidak tercekik dengan hal yang ada dizaman kehidupan beliau saw saja, dan beliau saw telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal yang buruk (Bid’ah dhalalah). Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman
syariah, karena hadits diatas jelas jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi’in.
memperbaiki agama ini, semua hal yang baru selama itu baik sudah masuk dalam
kategori syariah dan sudah direstui oleh Allah dan rasul Nya, alangkah sempurnanya
islam, Bila yang dimaksud adalah tidak ada lagi penambahan, maka pendapat itu salah, karena setelah ayat ini masih ada banyak ayat ayat lain turun, masalah hutang dll, berkata para Mufassirin bahwa ayat ini bermakna Makkah Almukarramah sebelumnya selalu masih dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya orang muslim, mulai kejadian turunnya ayat ini maka Musyrikin tidak lagi masuk masjidil haram, maka membuat kebiasaan baru yang baik boleh boleh saja. Namun tentunya bukan membuat agama baru atau syariat baru yang bertentangan dengan syariah dan sunnah Rasul saw, atau menghalalkan apa apa yang sudah diharamkan oleh Rasul saw atau sebaliknya, inilah makna hadits beliau saw : “Barangsiapa yang membuat buat hal baru yang berupa keburukan...dst”, inilah yang disebut Bid’ah Dhalalah Beliau saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka beliau saw memperbolehkannya (hal yang baru berupa kebaikan), menganjurkannya dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar ummat tidak tercekik dengan hal yang ada dizaman kehidupan beliau saw saja, dan beliau saw telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal yang buruk (Bid’ah dhalalah). Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman
syariah, karena hadits diatas jelas jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi’in.
Pendapat
para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah :
1.
Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam
Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah (Imam Syafii) Berkata Imam Syafii
bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan
bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)
bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)
1.
HADITS DHO’IF
Hadits
Dhoif adalah hadits yang lemah hukum sanad periwayatnya atau pada hukum matannya,
mengenai beramal dengan hadits dhaif merupakan hal yang diperbolehkan oleh para
Ulama Muhadditsin. Hadits dhoif tak dapat dijadikan Hujjah atau dalil dalam
suatu hukum, namun tak sepantasnya kita menafikan (meniadakan) hadits dhoif,
karena hadits dhoif banyak pembagiannya. Dan telah sepakat jumhur para ulama
untuk menerapkan beberapa hukum dengan berlandaskan dengan hadits dhoif, sebagaimana
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, menjadikan hukum bahwa bersentuhan kulit
antara pria dan wanita
dewasa tidak membatalkan wudhu, dengan berdalil pada hadits Aisyah ra bersama Rasul saw yang Rasul saw menyentuhnya dan lalu meneruskan shalat tanpa berwudhu, hadits ini dhoif, namun Imam Ahmad memakainya sebagai ketentuan hukum thaharah.
Hadits dhoif ini banyak pembagiannya, sebagian ulama mengklasifikasikannya menjadi
81 bagian, adapula yang menjadikannya 49 bagian dan adapula yang memecahnya dalam 42 bagian, namun para Imam telah menjelaskan kebolehan beramal dengan hadits dhoif bila untuk amal shalih, penyemangat, atau manaqib, inilah pendapat yang mu’tamad, namun tentunya bukanlah hadits dhoif yang telah digolongkan kepada hadits palsu.
Sebagian besar hadits dhoif adalah hadits yang lemah sanad perawinya atau pada matannya, tetapi bukan berarti secara keseluruhan adalah palsu, karena hadits palsu dinamai hadits munkar, atau mardud, Batil, maka tidak sepantasnya kita menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafikan (menghilangkan) hadits dhaif karena sebagian hadits dhaif masih diakui sebagai ucapan Rasul saw, dan tak satu muhaddits pun yang berani menafikan keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu
berarti mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya kufur. Rasulullah SAW bersabda : "Barangsiapa yang sengaja berdusta dengan ucapanku maka hendaknya ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari hadits no.110), Sabda beliau SAW pula : "sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari hadits no.1229), Cobalah anda bayangkan, mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif berarti mereka melarang sebagian ucapan / sunnah Rasul saw, dan mendustakan ucapan Rasul saw.
dewasa tidak membatalkan wudhu, dengan berdalil pada hadits Aisyah ra bersama Rasul saw yang Rasul saw menyentuhnya dan lalu meneruskan shalat tanpa berwudhu, hadits ini dhoif, namun Imam Ahmad memakainya sebagai ketentuan hukum thaharah.
Hadits dhoif ini banyak pembagiannya, sebagian ulama mengklasifikasikannya menjadi
81 bagian, adapula yang menjadikannya 49 bagian dan adapula yang memecahnya dalam 42 bagian, namun para Imam telah menjelaskan kebolehan beramal dengan hadits dhoif bila untuk amal shalih, penyemangat, atau manaqib, inilah pendapat yang mu’tamad, namun tentunya bukanlah hadits dhoif yang telah digolongkan kepada hadits palsu.
Sebagian besar hadits dhoif adalah hadits yang lemah sanad perawinya atau pada matannya, tetapi bukan berarti secara keseluruhan adalah palsu, karena hadits palsu dinamai hadits munkar, atau mardud, Batil, maka tidak sepantasnya kita menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafikan (menghilangkan) hadits dhaif karena sebagian hadits dhaif masih diakui sebagai ucapan Rasul saw, dan tak satu muhaddits pun yang berani menafikan keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu
berarti mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya kufur. Rasulullah SAW bersabda : "Barangsiapa yang sengaja berdusta dengan ucapanku maka hendaknya ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari hadits no.110), Sabda beliau SAW pula : "sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari hadits no.1229), Cobalah anda bayangkan, mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif berarti mereka melarang sebagian ucapan / sunnah Rasul saw, dan mendustakan ucapan Rasul saw.
2.
DALIL2 MAULID NABI SAW :
Allah
merayakan hari kelahiran para Nabi Nya :
·
Firman Allah : “(Isa berkata dari
dalam perut ibunya) Salam sejahtera atasku, di hari kelahiranku, dan hari aku
wafat, dan hari aku dibangkitkan” (QS Maryam 33)
·
Firman Allah : “Salam Sejahtera dari
kami (untuk Yahya as) dihari kelahirannya, dan hari wafatnya dan hari ia
dibangkitkan” (QS Maryam 15)
·
Rasul saw lahir dengan keadaan sudah
dikhitan (Almustadrak ala shahihain haditsno. 4177)
·
Berkata Utsman bin Abil Ash
Asstaqafiy dari ibunya yang menjadi pembantunya Aminah ra bunda Nabi saw,
ketika Bunda Nabi saw mulai saat saat melahirkan, ia (ibu utsman) melihat bintang
bintang mendekat hingga ia takut berjatuhan diatas kepalanya, lalu ia melihat
cahaya terang benderang keluar dari Bunda Nabi saw hingga membuat terang
benderangnya kamar dan rumah (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)
·
Ketika Rasul saw lahir kemuka bumi
beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam)
·
Riwayat shahih oleh Ibn Hibban dan
Hakim bahwa Ibunda Nabi saw saat
melahirkan Nabi saw melihat cahaya yang terang benderang hingga pandangannya menembus dan melihat Istana Istana Romawi (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583) Malam kelahiran Rasul saw itu runtuh singgasana Kaisar Kisra, dan runtuh pula 14 buah jendela besar di Istana Kisra, dan Padamnya Api di Kekaisaran Persia yang 1000 tahun tak pernah padam. (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583) Kenapa kejadian kejadian ini dimunculkan oleh Allah swt?, kejadian kejadian besar ini muncul menandakan kelahiran Nabi saw, dan Allah swt telah merayakan kelahiran Muhammad Rasulullah saw di Alam ini, sebagaimana Dia swt telah pula membuat salam sejahtera pada kelahiran Nabi nabi sebelumnya
melahirkan Nabi saw melihat cahaya yang terang benderang hingga pandangannya menembus dan melihat Istana Istana Romawi (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583) Malam kelahiran Rasul saw itu runtuh singgasana Kaisar Kisra, dan runtuh pula 14 buah jendela besar di Istana Kisra, dan Padamnya Api di Kekaisaran Persia yang 1000 tahun tak pernah padam. (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583) Kenapa kejadian kejadian ini dimunculkan oleh Allah swt?, kejadian kejadian besar ini muncul menandakan kelahiran Nabi saw, dan Allah swt telah merayakan kelahiran Muhammad Rasulullah saw di Alam ini, sebagaimana Dia swt telah pula membuat salam sejahtera pada kelahiran Nabi nabi sebelumnya
·
Rasulullah saw memuliakan hari
kelahiran beliau saw
Ketika beliau saw ditanya mengenai puasa di hari senin, beliau saw menjawab : “Itu adalah hari kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan” (Shahih Muslim hadits no.1162). dari hadits ini sebagian saudara2 kita mengatakan boleh merayakan maulid Nabi saw asal dengan puasa. Rasul saw jelas jelas memberi pemahaman bahwa hari senin itu berbeda dihadapan beliau saw daripada hari lainnya, dan hari senin itu adalah hari kelahiran beliau saw. Karena beliau saw tak menjawab misalnya : “oh puasa hari senin itu mulia dan boleh boleh saja..”, namun beliau bersabda : “itu adalah hari kelahiranku”, menunjukkan bagi beliau saw hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah dari hari hari lainnya. Contoh mudah misalnya zeyd bertanya pada amir : “bagaimana kalau kita berangkat umroh pada 1 Januari?”, maka amir menjawab : “oh itu hari kelahiran saya”. Nah..
bukankah jelas jelas bahwa zeyd memahami bahwa 1 januari adalah hari yang
berbeda dari hari hari lainnya bagi amir?, dan amir menyatakan dengan jelas bahwa 1 januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir ini termasuk orang yang perhatian pada hari kelahirannya, kalau amir tak acuh dengan hari kelahirannya maka pastilah ia tak perlu menyebut nyebut bahwa 1 januari adalah hari kelahirannya, dan Nabi saw tak memerintahkan puasa hari senin untuk merayakan kelahirannya, pertanyaan sahabat ini berbeda maksud dengan jawaban beliau saw yang lebih luas dari sekedar pertanyaannya, sebagaimana contoh diatas, Amir tak mmerintahkan umroh pada 1 januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka mereka yang berpendapat bahwa boleh merayakan maulid hanya dengan puasa saja maka tentunya dari dangkalnya pemahaman terhadap ilmu bahasa. Orang itu bertanya tentang puasa senin, maksudnya boleh atau tidak?, Rasul saw menjawab : hari itu hari kelahiranku, menunjukkan hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah pada pribadi beliau saw, sekaligus diperbolehkannya puasa dihari itu. Maka jelaslah sudah bahwa Nabi saw termasuk yang perhatian pada hari kelahiran beliau saw, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya islam.
Ketika beliau saw ditanya mengenai puasa di hari senin, beliau saw menjawab : “Itu adalah hari kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan” (Shahih Muslim hadits no.1162). dari hadits ini sebagian saudara2 kita mengatakan boleh merayakan maulid Nabi saw asal dengan puasa. Rasul saw jelas jelas memberi pemahaman bahwa hari senin itu berbeda dihadapan beliau saw daripada hari lainnya, dan hari senin itu adalah hari kelahiran beliau saw. Karena beliau saw tak menjawab misalnya : “oh puasa hari senin itu mulia dan boleh boleh saja..”, namun beliau bersabda : “itu adalah hari kelahiranku”, menunjukkan bagi beliau saw hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah dari hari hari lainnya. Contoh mudah misalnya zeyd bertanya pada amir : “bagaimana kalau kita berangkat umroh pada 1 Januari?”, maka amir menjawab : “oh itu hari kelahiran saya”. Nah..
bukankah jelas jelas bahwa zeyd memahami bahwa 1 januari adalah hari yang
berbeda dari hari hari lainnya bagi amir?, dan amir menyatakan dengan jelas bahwa 1 januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir ini termasuk orang yang perhatian pada hari kelahirannya, kalau amir tak acuh dengan hari kelahirannya maka pastilah ia tak perlu menyebut nyebut bahwa 1 januari adalah hari kelahirannya, dan Nabi saw tak memerintahkan puasa hari senin untuk merayakan kelahirannya, pertanyaan sahabat ini berbeda maksud dengan jawaban beliau saw yang lebih luas dari sekedar pertanyaannya, sebagaimana contoh diatas, Amir tak mmerintahkan umroh pada 1 januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka mereka yang berpendapat bahwa boleh merayakan maulid hanya dengan puasa saja maka tentunya dari dangkalnya pemahaman terhadap ilmu bahasa. Orang itu bertanya tentang puasa senin, maksudnya boleh atau tidak?, Rasul saw menjawab : hari itu hari kelahiranku, menunjukkan hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah pada pribadi beliau saw, sekaligus diperbolehkannya puasa dihari itu. Maka jelaslah sudah bahwa Nabi saw termasuk yang perhatian pada hari kelahiran beliau saw, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya islam.
·
Sahabat memuliakan hari kelahiran
Nabi saw Berkata Abbas bin Abdulmuttalib ra : “Izinkan aku memujimu wahai
Rasulullah..” maka Rasul saw menjawab: “silahkan..,maka Allah akan membuat
bibirmu terjaga”, maka Abbas ra memuji dengan syair yang panjang, diantaranya :
“… dan engkau (wahai nabi saw) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi
hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini
dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus
mendalaminya” (Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417)
Pendapat Para Imam dan Muhaddits
atas perayaan Maulid :
· Berkata Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Asqalaniy rahimahullah :
Telah jelas dan kuat riwayat yang sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi saw
datang ke Madinah dan bertemu dengan Yahudi yang berpuasa hari asyura (10
Muharram), maka Rasul saw bertanya maka mereka berkata : “hari ini hari
ditenggelamkannya Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa
sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka bersabda Rasul saw : “kita lebih berhak atas Musa as dari kalian”, maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah yang diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa didapatkan dengan pelbagai cara, seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca Alqur’an, maka nikmat apalagi yang melebihi kebangkitan Nabi ini?, telah berfirman Allah swt “SUNGGUH ALLAH TELAH MEMBERIKAN ANUGERAH PADA ORANG ORANG MUKMININ KETIKA DIBANGKITKANNYA RASUL DARI MEREKA” (QS Al Imran 164)
datang ke Madinah dan bertemu dengan Yahudi yang berpuasa hari asyura (10
Muharram), maka Rasul saw bertanya maka mereka berkata : “hari ini hari
ditenggelamkannya Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa
sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka bersabda Rasul saw : “kita lebih berhak atas Musa as dari kalian”, maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah yang diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa didapatkan dengan pelbagai cara, seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca Alqur’an, maka nikmat apalagi yang melebihi kebangkitan Nabi ini?, telah berfirman Allah swt “SUNGGUH ALLAH TELAH MEMBERIKAN ANUGERAH PADA ORANG ORANG MUKMININ KETIKA DIBANGKITKANNYA RASUL DARI MEREKA” (QS Al Imran 164)
Pendapat Imam Al Hafidh Jalaluddin Assuyuthi
rahimahullah :
· Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa
Rasul saw ber akikah untuk dirinya setelah beliau saw menjadi Nabi
(Ahaditsulmukhtarah hadis no.1832 dengan sanad shahih dan Sunan Imam Baihaqi Alkubra
Juz 9 hal.300), dan telah diriwayatkan bahwa telah ber Akikah untuknya kakeknya
Abdulmuttalib saat usia beliau saw 7 tahun, dan akikah tak mungkin diperbuat
dua kali, maka jelaslah bahwa akikah beliau saw yang kedua atas dirinya adalah
sebagai tanda syukur beliau saw kepada Allah swt yang telah membangkitkan
beliau saw sebagai Rahmatan lil’aalamiin dan membawa Syariah utk ummatnya, maka
sebaiknya bagi kita juga untuk menunjukkan tasyakkuran dengan Maulid beliau saw
dengan mengumpulkan teman teman dan saudara saudara, menjamu dengan makanan makanan
dan yang serupa itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan. bahkan
Imam Assuyuthiy mengarang sebuah buku khusus mengenai perayaan maulid dengan
nama : “Husnulmaqshad fii ‘amalilmaulid”.
Pendapat Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam
Nawawi) :
· Merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah
perbuatan yang
diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul saw dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul sawdan membangkitkan rasa cinta pada beliau saw, dan bersyukur kepada Allah dengan kelahiran Nabi saw. Dengan maulid at tajaliat al khifiah fi maulid khoir al bariah. Tiada satupun para Muhadditsin dan para Imam yang menentang dan melarang hal ini, mengenai beberapa pernyataan pada Imam dan Muhadditsin yang menentang mauled sebagaimana disampaikan oleh kalangan anti maulid, maka mereka ternyata hanya menggunting dan memotong ucapan para Imam itu, dengan kelicikan yang jelas jelas meniru kelicikan para misionaris dalam menghancurkan Islam.
diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul saw dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul sawdan membangkitkan rasa cinta pada beliau saw, dan bersyukur kepada Allah dengan kelahiran Nabi saw. Dengan maulid at tajaliat al khifiah fi maulid khoir al bariah. Tiada satupun para Muhadditsin dan para Imam yang menentang dan melarang hal ini, mengenai beberapa pernyataan pada Imam dan Muhadditsin yang menentang mauled sebagaimana disampaikan oleh kalangan anti maulid, maka mereka ternyata hanya menggunting dan memotong ucapan para Imam itu, dengan kelicikan yang jelas jelas meniru kelicikan para misionaris dalam menghancurkan Islam.
Sanggahan
Guru Mulia Habib Munzir Thd Pertanyaan Wahabi
·
Keluarga yang mendapat musibah
kematian, wajib bagi Umat Islam untuk ta’ziyah selam tiga hari berturut-turut.
JAWAB
Tidak ada satu madzhab pun yang mengatakannya wajib, hal ini sunnah muakkadah, tidak ada dalil ayat atau hadits shahih yang mengatakan takziyah 3 hari berturut turut adalah wajib.
JAWAB
Tidak ada satu madzhab pun yang mengatakannya wajib, hal ini sunnah muakkadah, tidak ada dalil ayat atau hadits shahih yang mengatakan takziyah 3 hari berturut turut adalah wajib.
·
Kebiasaan selama ini yang masih melakukan hari
ke 7, ke 40 dan hari ke 100 supaya ditinggalkan karena tidak ada contoh dari
Nabi Muhammad SAW dan
tidak ada tuntunannya. Upacara itu berasal dari ajaran agama Hindu dan Budha,
menjadi upacara dari kerajaan Hyang dari daratan Tiongkok yang dibawa oleh
orang Hindu ketanah melayu tempo dulu.
JAWAB
Mengikuti adat kuffar selama itu membawa maslahat bagi muslimin dan tidak melanggar syariah maka itu boleh saja, sebagaimana Rasul saw pun ikut adat kaum yahudi yang berpuasa di hari 10 Muharram (asyura) karena hari itu hari selamatnya Musa as dari kejaran fir’aun, maka Rasul saw pun ikut berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa asyura (rujuk shahih Bukhari, shahih Muslim) Demikian pula kita menggunakan lampu, kipas angin, karpet, mikrofon, speaker dll untuk perlengkapan di masjid yang kesemua itu adalah buatan orang kafir dan adat istiadat orng kafir, boleh saja kita gunakan selama itu manfaat bagi muslimin dan tidak bertentangan dengan syariah, demikian pula Alqur’an yang dicetak di percetakan, dan mesin percetakan itupun buatan orang kafir, dan mencetak buku adalah adat orang kafir, juga Bedug di masjid yang juga adat sebelum islam dan banyak lagi. Boleh boleh saja kumpul kumpul dzikir dan silaturahmi dirumah duka 7 hari, 40 hari, bahkan tiap hari pun tak apa karena tak pernah ada larangan yang mengharamkannya.
tidak ada tuntunannya. Upacara itu berasal dari ajaran agama Hindu dan Budha,
menjadi upacara dari kerajaan Hyang dari daratan Tiongkok yang dibawa oleh
orang Hindu ketanah melayu tempo dulu.
JAWAB
Mengikuti adat kuffar selama itu membawa maslahat bagi muslimin dan tidak melanggar syariah maka itu boleh saja, sebagaimana Rasul saw pun ikut adat kaum yahudi yang berpuasa di hari 10 Muharram (asyura) karena hari itu hari selamatnya Musa as dari kejaran fir’aun, maka Rasul saw pun ikut berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa asyura (rujuk shahih Bukhari, shahih Muslim) Demikian pula kita menggunakan lampu, kipas angin, karpet, mikrofon, speaker dll untuk perlengkapan di masjid yang kesemua itu adalah buatan orang kafir dan adat istiadat orng kafir, boleh saja kita gunakan selama itu manfaat bagi muslimin dan tidak bertentangan dengan syariah, demikian pula Alqur’an yang dicetak di percetakan, dan mesin percetakan itupun buatan orang kafir, dan mencetak buku adalah adat orang kafir, juga Bedug di masjid yang juga adat sebelum islam dan banyak lagi. Boleh boleh saja kumpul kumpul dzikir dan silaturahmi dirumah duka 7 hari, 40 hari, bahkan tiap hari pun tak apa karena tak pernah ada larangan yang mengharamkannya.
3.
DALIL YASINAN :
Mengenai
hadits shahihnya bahwa Rasul saw bersabda : Bacakanlah pada yg wafat pada
kalian surat Yaasiin (HR Abu Dawud), walaupun sebagian mengatakan hadits ini
dhoif, namun berkata Imam Nawawi bahwa Imam Abu Dawud tidak mendhoifkannya. maka
bisa kita kedepan kan hadita hadits lain yg mendukung perbuatan ini, yaitu
sabda Rasulullah saw : Bila kalian mendatangi yg sakit atau yg wafat, maka
ucapkanlah hal yg baik baik, karena malaikat mengaminkan apa apa yg kalian
katakan (Shahih Muslim) maka tentunya
tak ada kalimat lebih baik dari Alqur'an,
sebaliknya pelarangan pembacaan ALqur'an di kubur atau pada mayyit
merupakan hal mungkar, karena tak berhak seseorang melarang pembacaan ALqur'an,
bahkan Imam Ahmad bin hanbal pun pernah melarang, namun ketika diriwayatkan
tentang riwayat tsigah bahwa para sahabat banyak mewasiatkan minta dibacakan
Alqur'an setelah wafatanya maka Imam Ahmad pun menyetujui.
4.
DALIL TAHLILAN :
Pada
hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah
acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. Yaitu berkumpulnya
sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah SWT dengan cara
membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, Asma’ul
husna, shalawat dan lain-lain. Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan
majelis dzikir, hanya istilah atau namanya saja yang berbeda namun hakikatnya
sama. Lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan berdoa
bersama yang berkaitan dengan acara kematian
untuk mendoakan dan memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal
dunia ? Dan apakah hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit ?
Menghadiahkan
Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha puasanya
dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yg Jelas dalam
Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk Ibunya yg
telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul saw”, dan adapula riwayat Shahihain
Bukhari dan Muslim bahwa “seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya yg telah
wafat”, dan Rasulullah SAW pun menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW saat Idul
Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan ini
dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan
dari Ummat Muhammad” (Shahih Muslim hadits no.1967). dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu
sampai kepada mayyit) merupakan Jumhur (kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan
tak ada yg memungkirinya apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat
hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan
lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai Alla kuhadiahkan
sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan
maka sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai. Jadi tak satupun
ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk mayiit, tapi
berikhtilaf adalah pd Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yg menyebutkan 21
hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat
manfaat dari amal selainnya). Mengenai ayat : "DAN TIADALAH BAGI SESEORANG
KECUALI APA YG DIPERBUATNYA, maka Ibn Abbas ra menyatakan bahwa ayat ini telah
mansukh dg ayat “DAN ORAN ORANG YG BERIMAN YG DIIKUTI KETURUNAN MEREKA DENGAN
KEIMANAN”,
Mengenai
hadits yg mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka terputuslah amalnya
terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yg bermanfaat, dan anaknya yg
berdoa untuknya, maka orang orang lain yg mengirim amal, dzikir dll untuknya
ini jelas jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah SAW
menjelaska terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yg dihadiahkan
untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Al
Qur'an untuk mendoakan orang yg telah wafat : "WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH
DOSA DOSA KAMI DAN BAGI SAUDARA-SAUDARA KAMI YG MENDAHULUI KAMI DALAM
KEIMANAN", (QS Al Hasyr-10).
Mengenai
rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam Yang memungkirinya,
siapa pula yg memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?, hanya syaitan yg
tak suka dengan dzikir. Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari,
atau bahkan tiap hari, tak ada dalil yg melarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah
yg sudah diperbolehkan oleh Rasulullah saw, justru kita perlu bertanya, ajaran
muslimkah mereka yg melarang orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, siapa yg
alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan Iblis dan pengikutnya ?,
siapa yg membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, muslimkah?,
Semoga
Allah memberi hidayah pada muslimin, tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha
illallah, tak pula ada larangan untuk melarang yg berdzikir pada hari ke 40,
hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yg nyata.
Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yg merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yg ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yg berpuasa pada hari 10 muharram, (shahih Bukhari) bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727)
Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yg merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yg ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yg berpuasa pada hari 10 muharram, (shahih Bukhari) bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727)
1.
Imam
nawawi menjelaskan bahwa yang shahih adalah yang mengatakan sampai, walaupun
yang masyhur mengatakan tak sampai, berarti yang masyhur itu dhoif, dan yang
shahih adalah yang mengatakan sampai, dan Imam Nawawi menjelaskan pula bahwa
sebagian besar ulama mengatakan semua amal adalah sampai. Inilah liciknya orang
– orang wahabi, mereka bersiasat dengan “gunting tambal”, mereka menggunting –
gunting ucapan para Imam lalu ditampilkan di web – web, inilah bukti kelicikan
mereka, Saya akan buktikan kelicikan mereka: Lalu berkata pula Imam Nawawi : “Sungguh sedekah untuk dikirimkan pada mayyit
akan membawa manfaat bagi mayyit dan akan disampaikan padanya pahalanya,
demikian ini pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, demikian pula mereka telah
sepakat atas sampainya doa – doa, dan pembayaran hutang (untuk mayyit) dengan
nash – nash yang teriwayatkan masing masing, dan sah pula haji untuk mayyit
bila haji muslim, Demikian pula bila ia berwasiat untuk dihajikan dengan haji
yang sunnah, demikian pendapat yang lebih shahih dalam madzhab kita (Syafii),
namun berbeda pendapat para ulama mengenai puasa, dan yang lebih benar adalah yang
membolehkannya sebagaimana hadits – hadits shahih yang menjelaskannya, dan yang
masyhur dikalangan madzhab kita bahwa bacaan Alqur’an tidak sampai pada mayyit
pahalanya, namun telah berpendapat sebagian dari ulama madzhab kita bahwa sampai
pahalanya, dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada yang membolehkannya” (Syarh
Imam Nawawi ala Shahih Muslim Juz 7 hal 90). Dan dijelaskan pula dalam
Almughniy : “Tidak ada larangannya membaca Alqur’an dikuburan , dan telah diriwayatkan
dari Ahmad bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah ayat alkursiy, lalu Al Ikhlas
3X, lalu katakanlah : Wahai Allah, sungguh pahalanya untuk ahli kubur”. Dan
diriwayatkan pula bahwa bacaan Alqur’an di kuburan adalah Bid’ah, dan hal itu
adalah ucapan Imam Ahmad bin hanbal, lalu muncul riwayat lain bahwa Imam Ahmad
melarang keras hal itu, maka berkatalah padanya
Muhammad bin Qudaamah : Wahai Abu Abdillah (nama panggilan Imam Ahmad), apa pendapatmu
tentang Mubasyir (seorang perawi hadits), Imam Ahmad menjawab : Ia Tsiqah (kuat
dan terpercaya riwayatnya), maka berkata Muhammad bin Qudaamah sungguh Mubasyir
telah meriwayatkan padaku dari ayahnya bahwa bila wafat agar dibacakan awal
surat Baqarah dan penutupnya, dan bahwa Ibn Umar berwasiat demikian pula!”,
maka berkata Imam Ahmad :”katakana pada orang yg tadi kularang membaca ALqur’an
dikuburan agar ia terus membacanya lagi..”. (Al Mughniy Juz 2 hal : 225)
2.
Kesimpulannya bahwa hal ini
merupakan ikhtilaf ulama, ada yg mengatakan pengiriman amal pada mayyit sampai
secara keseluruhan, ada yg mengatakan bahwa pengiriman bacaan Alqur’an tidak
sampai, namun kesemua itu bila dirangkul dalam doa kepada Allah untuk disampaikan
maka tak ada ikhtilaf lagi. Dan kita
semua dalam tahlilan itu pastilah ada ucapan : Allahumma awshil, tsawabaa maa
qaraa’naa minalqur’anilkarim… dst (Wahai Allah, sampaikanlah pahala apa apa yg
kami baca, dari alqur’anulkarim…dst). Maka jelaslah sudah bahwa Imam Syafii dan
seluruh Imam Ahlussunnah waljamaah tak ada yg mengingkarinya dan tak adapula yg
mengatakannya tak sampai. kita
ahlussunnah waljamaah mempunyai sanad, bila saya bicara fatwa Imam Bukhari,
saya mempunyai sanad guru kepada Imam Bukhari,bila saya berbicara fatwa Imam
Nawawi, saya mempunyai sanad guru kepada Imam Nawawi, bila saya berbicara fatwa
Imam Syafii, maka saya mempunyai sanad Guru kepada Imam Syafii. demikianlah kita ahlussunnah waljamaah, kita
tak bersanad kepada buku, kita mempunyai sanad guru, boleh saja dibantu oleh
Buku buku, namun acuan utama adalah pada guru yg mempunyai sanad. kasihan
mereka mereka yg keluar dari ahlussunnah waljamaah karena berimamkan buku, agama
mereka sebatas buku buku, iman mereka tergantung buku, dan akidah mereka adalah
pada buku buku. jauh berbeda dengan ahlussunnah waljamaah, kita tahu siapa Imam
Nawawi, Imam Nawawi bertawassul pada nabi saw, Imam nawawi mengagungkan Rasul
saw, beliau membuat shalawat yg dipenuhi salam pada nabi Muhammad saw, ia
memperbolehkan tabarruk dan ziarah kubur, demikianlah para ulama ahlussunnah
waljamaah. Sabda Rasulullah saw :
“Sungguh sebesar besar kejahatan muslimin pada muslimin lainnya, adalah yg
bertanya tentang hal yg tidak diharamkan atas muslimin, menjadi diharamkan atas
mereka karena ia mempermasalahkannya” (shahih Muslim hadits no.2358)
WALLAHU A’LAM
SEMOGA ADA MANFAATNYA DAN SENANTIASA MENDAPAT
HIDAYAH DARI ALLAH SWT. AMIIN..
No comments:
Post a Comment
Tolong commentnya berhubungan dengan artikel yang ditulis